Abstrak
Pertumbuhan ekonomi
suatu negara dapat di analisis melalui tingkat atau angka fertilitas. Besar
kecilnya angka fertilitas merupakan faktor penting dalam menigkatkan indeks
pertumbuhan manusia yang nantinya juga untuk pembangunan negera yang
bersangkutan. Pengaruh ini muncul secara tidak langsung tetapi dampak akan terasa setelah beberapa
puluh tahun kemudian melalui berbagai survei dan penelitian. Dampak yang paling
terasa adalah sektor ekonomi produktif yang menunjang pendapatan perkapita
suatu negara.
Sebagai negara maju, khususnya Jepang angka
kematian yang lebih tinggi daripada angka kelahiran bukan disebabkan oleh
rendahnya tingkat kesehatan orang Jepang dan banyaknya bayi yang lahir mati
karena ibu dan bayi mengalami kekurangan gizi dan salah penanganan adalah
masalah besar. Justru angka harapan hidup orang Jepang adalah yang tertinggi di
dunia. Dan rendahnya angka kelahiran disebabkan kecenderungan penduduk yang
berusia produktif menunda berkeluarga dan menunda untuk memiliki anak karena
alasan beban hidup yang besar dan atau ingin memacu karier dalam perusahaan.
Kata kunci : fertilitas, pandapatan perkapita, indeks pertumbuhan
manusia,angka kelahiran rendah.
Pendahuluan
Sejak kalah perang dunia II Jepang menjadi
negara tertutup. Mereka berusaha bangkit dari keadaan yang memburuk. Oleh sebab
itu masyarakat Jepang terus berusaha dan bekerja sampai malam agar kondisi
perekonomiannya semakin membaik. Karena bekerja terus-menerus mereka sampai
lupa kondisi demografi di negaranya.
Demografi Jepang ditandai dengan penurunan tingkat
kelahiran secara terus menerus dan peningkatan harapan hidup yang menyebabkan penduduk Jepang makin menua. Penurunan tingkat
fertilitas juga menyebabkan turunnya jumlah penduduk.
Kondisi demofrafi seperti ini justru terbalik dengan apa yang dihadapi oleh
beberapa negara seperti Indonesia, India, Nigeria, dll yang justru bermasalah
karena angka kelahiran tinggi. Menurut Yoshida, profesor ekonomi di Universitas
Tohoku, angka kelahiran mulai menunjukkan penurunan yang mengkhawatirkan sejak
1975. Bahkan jika terus menyusut penduduk Jepang diperkirakan akan punah dalam
1000 tahun ke depan.
Pertumbuhan
penduduk Jepang berada titik terendah sejak 1920 yang disebabkan oleh rendahnya
angka kelahiran. Sebagai negara dengan peringkat ke-10 di dunia dengan jumlah
populasi tertinggi mengalami stagnansi dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang
hanya mencapai 0,2 persen sejak sensus yang dilakukan pada tahun 2005. Walaupun
berdasarkan sensus menunjukkan peningkatan, namun secara faktual jumlah
penduduk Jepang mengalami penurunan sejak tahun 2007. Menurut
perkiraan Biro Statistik Jepang,
penduduk Jepang pada 1 Desember 2009 berjumlah 127.530.000 orang (62.130.000
laki-laki dan 65.410.000 perempuan), dan dibandingkan populasi Desember 2008
terjadi penurunan sebesar 0,12% (150.000 orang) Jika hal ini terus – menerus terjadi
ini mengakibatkan masalah yang besar bagi Jepang.
Jepang sudah bisa
dipastikan akan memiliki tingkat kelahiran yang lebih rendah di masa datang.
Penyebabnya adalah para wanita lebih memilih untuk tetap singel atau menunda
pernikahan. Hal itu menimbulkan kekhawatiran soal kekurangan tenaga kerja di
masa datang dan juga beban pemeliharaan kesehatan di Jepang di kemudian hari.
Pola Fertilitas
Jepang
Di saat negara- negara di belahan dunia mengalami populasi penduduk yang semakin meningkat,
Jepang justru menghadapi masalah lain yaitu penyusutan penduduk yang disebabkan
oleh angka kelahiran yang rendah. Padahal di sisi lain Jepang merupakan salah satu
negara dengan usia harapan hidup tertinggi di dunia. Bahkan jumlah orang Jepang
yang berusia 100 tahun atau lebih mencatat rekor lebih dari 25.600 orang. Jepang
saat ini menempati urutan teratas dengan jumlah lanjut usia (lansia) lebih
banyak dibandingkan dengan angka kelahiran bayi di sana. Ini dapat dilihat dari perubahan populasi
dalam bentuk piramida seperti di bawah ini.
Piramida penduduk 1950 menunjukkan
bahwa Jepang memiliki piramida penduduk Muda
(Expansive) ditandai dengan angka
kelahiran yang tinggi dan angka kematian yang rendah sehingga daerah ini
mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Piramida ini dicirikan sebagian
besar penduduk masuk dalam kelompok umur muda. Namun sejak tahun 1960-an laju
pertumbuhan penduduk melambat. Berdasarkan piramida tersebut tahun 2010, populasi warga lanjut usia (65 tahun ke atas) adalah 29.290.000, yang merupakan 23,1 persen dari total populasi dan menandai rekor tertinggi di dunia baik dari segi jumlah dan persentase
sedangkan penduduk yang berusia 0-14 tahun hanya 13,2 persen. Dan pada tahun 2050 prediksi penduduk usia
0-14 tahun di Jepang hanya sekitar 8,6 persen, ini menggambarkan bahwa jumlah penduduknya akan menyusut .Menurut
penelitian U.S. Census Bureau, Internasional Data Base, diperkirakan pada tahun
2050 jumlah kelahiran di Jepang mencapai titik terendah. Bahkan karena
penyusutan penduduk ini Jepang bisa
dikategorikan sebagai decaying country, atau negara yang menuju kepunahan
Total rasio kelahiran di Jepang yang terus
menurun dimana angka kelahiran jauh di
bawah rasio pertumbuhan penduduk yang dapat mendukung populasi yang
berkesinambungan, yaitu 2,1 persen. Berikut data statistik dimana angka
kelahiran di Jepang lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian.
Source
:Ministry of healt, Labour, and Welfare
Angka
kelahiran yang lebih rendah dari pada angka kematian akan menimbulkan bahaya
yang besar. Ini akan menyebabkan menumpuknya penduduk usia tua sementara
populasi anak - anak semakin berkurang. Jika hal ini terus menerus terjadi maka
Jepang akan kehilangan perannya sebagai kekuatan ekonomi dunia. Sedikit anak
yang dilahirkan berarti mengurangi pekerja di masa depan, dan mengarah ke
penurunan jumlah penerimaan pajak di saat populasi yang menua membutuhkan lebih
banyak dukungan dalam bentuk perawatan kesehatan dan pensiun, yang dibayarkan
oleh kontribusi pajak.
Mengenai
masalah kependudukan di Jepang menurut penelitian yang disampaikan oleh
seorang ilmuwan dari Tohoku University,
Prof Hiroshi Yoshida, diperkirakan bangsa Jepang akan punah dalam 1000 tahun .
Populasi anak-anak yang hanya 16,6 juta jiwa dari total sekitar 127,8 juta
penduduk Jepang dinilai menunjukkan bahwa tingkat kelahiran di negara ini cukup
rendah. Data 50 tahun terakhir menunjukkan, tiap perempuan Jepang memang hanya
melahirkan rata-rata 1,35 anak. Sebaliknya jumlah lansia begitu tinggi,
sehingga diperkirakan 20 persen penduduk Jepang saat ini telah berusia 65 tahun
ke atas. Apalagi angka harapan hidup juga terus meningkat, yakni 86,39 tahun
pada 2010 dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang. Dengan
perbandingan yang tidak seimbang ini, maka populasi anak di bawah usia 14 tahun
diyakini akan semakin menyusut. Diperkirakan penyusutan rata-ratanya mencapai 1
anak tiap 100 detik sehingga dalam 1000 tahun sudah tidak ada lagi anak kecil
di Jepang. Menurut Prof. Yoshida seperti dikutip dari Medinde (11/05/2012) “Jika
penurunan ini berlanjut, tanggal 5 Mei 3011 Jepang masih merayakan Hari Anak
dengan hanya 1 anak yang tersisa. Namun 100 detik kemudian, tidak ada lagi yang
tersisa”.
Faktor Pengaruh
atas Pola
Penurunan
jumlah penduduk di Jepang yang disebabkan oleh penurunan tingkat fertilitas
tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor ekonomi sangat berperan penting
dalam hal ini. Di Jepang, semakin mahalnya biaya hidup dan pendidikan,
mengakibatkan meningkatnya angkatan kerja wanita sehingga tingkat kelahiran di Jepang menurun drastis.
Kebutuhan
hidup masyarakat Jepang sangatlah mahal dan semakin beragam. Khususnya para
wanita yang semakin hari semakin terbujuk oleh tuntutan gaya hidup yang semakin
meningkat. Wanita-wanita ini pun semakin memutar otak agar bisa memenuhi
kebutuhan yang mereka inginkan. Sekarang ini tingkat pendidikan bagi wanita pun
meningkat, para wanita pada zaman ini berlomba-lomba agar mereka bisa
menunjukkan vitalitas dan kemampuan mereka agar tidak diremehkan oleh para
pria. Inilah yan menyebabkan mereka menunda umur perkawinan.
Secara
tradisional, umur menikah (marriage age) perempuan Jepang adalah
antara 23-25 tahun. Namun dari waktu ke
waktu menunjukkan bahwa banyak perempuan Jepang memilih menjadi wanita karier
dibanding menikah dan berkeluarga. Dan bagi mereka, keputusan untuk cepat-cepat
menikah adalah sesuatu yang menghambat karier. Menikah dianggap akan membatasi
mereka dalam hal berkarier, karena harus mengurus suami dan anak. Perempuan
Jepang, yang umumnya well educated (berpendidikan), memandang menikah sebagai sesuatu yang tidak harus buru-buru
dilakukan.
Biasanya
tempat kerja di Jepang menuntut lembur yang panjang hampir tiap hari dan tidak
mau memberi dispensasi untuk masalah-masalah keluarga Apalagi di Jepang, di mana perempuan masih sangat kurang
terwakili dalam ruang rapat perusahaan, dan mengandung anak seringkali menjadi
lonceng kematian bagi karier mereka. Ini seperti yang dikatakan Jeff Kingston,
Direktur Studi Asia pada Temple University di Tokyo bahwa “Wanita menahan diri
dari memiliki anak-anak karena biayanya tinggi dan kebijakan dunia kerja yang
kaku membuat banyak dari mereka memilih antara membesarkan keluarga atau
mengejar karir”.
Perempuan
Jepang lebih memilih untuk hidup melajang hingga umur yang tidak muda lagi
(30-40 tahun) ketimbang buru-buru menikah. Ini terlihat seperti data di bawah
ini yang menunjukkan umur orang menikah pertama di Jepang yang semakin naik.
Di Jepang
tingkat perceraiannya semakin tinggi dari tahun ke tahun. Selain menunda
perkawinan, wanita di Jepang tidak mau memiliki anak. Ada kecenderungan saat
ini bahwa perempuan-perempuan Jepang yang masih lajang lebih memilih untuk
memelihara anjing ketimbang memiliki anak. Memiliki anak di Jepang adalah
sebuah keputusan yang menuntut konsekwensi ekonomi yang tidak ringan. Biaya
untuk mengurus anak sangat mahal, dan membutuhkan investasi dalam hal
pendidikan dan kesehatan yang tidak murah.
Menurunnya
angka kelahiran di Jepang juga tidak lepas dari
turunnya aktivitas seksual warganya. Hal ini berdasarkan hasil poling
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, Pekerjaan, dan Kesejahteraan pada
Kamis, 13 Januari 2011, seperti dilansir dari lThe Telegraph. Pada hasil poling sebanyak 59 persen
perempuan Jepang menyatakan tidak tertarik dan tidak memikirkan soal seks. Tiga
alasan utama mereka tidak melakukan hubungan seks adalah karena malas mempunyai
anak, tidak ingin diganggu dengan kehadiran anak, dan lelah sehabis bekerja.
Solusi Kebijakan Demografi
Masalah kependudukan ini semakin
membuat ekonomi Jepang terhempas dalam jurang krisis. Untuk itu, di awal tahun
2010, pemerintah Hatoyama mengumumkan berbagai
strategi yang dilakukan adalah mendorong angka kelahiran. Jepang memberi
subsidi besar-besaran bagi pasangan muda yang berniat memiliki anak. Padahal pemerintah
Jepang sudah memberikan insentif bagi keluarga yang memiliki anak, berupa
tunjangan untuk melahirkan sebesar kurang lebih 350.000 Yen (Rp. 35 juta).
Pemerintah juga akan menambah tempat penitipan anak (child care center) di
berbagai gedung perkantoran, agar para ibu yang bekerja tidak khawatir untuk
memiliki anak. Pemerintah juga akan memberikan tunjangan sebesar 26.000 Yen
(sekitar Rp2,6 juta) per anak setiap bulan.
Pemerintah
Jepang telah mencoba beberapa rangkaian kampanye untuk mendorong pasangan agar
mempunyai anak. Salah satunya adalah meminta perusahaan-perusahaan memulangkan
karyawannya pada pukul enam sore. Namun menurut Kunio Takamura, ahli dari
Asosiasi Keluarga Berencana Jepang hal ini tidak juga membuat pasangan-pasangan
Jepang melakukan hubungan seks dan berkeinginan menikah serta mempunyai anak.
Sementara
itu Seorang pejabat di Kementerian Perdagangan Jepang mengatakan, pihaknya
tengah mempertimbangkan untuk mengizinkan iklan biro jodoh ditayangkan di
stasiun-stasiun televisi. Selama ini iklan sejenis dilarang muncul di TV.
"Dibandingkan dengan koran, yang saat ini bisa menampilkan iklan seperti
itu, dampak televisi akan jauh lebih besar,"
Solusi Original
Kebijakan
pemerintah Jepang untuk meningkatkan angka kelahiran agar tidak mengalami
penyusutan populasi penduduk perlu ditingkatkan dalam proses sosialisasi
programnya khususnya bagaimana pentingnya melahirkan generasi – generasi
penerus. Sosialisasi ini perlu dilakukan baik melalui iklan di Koran, televisi,
maupun mendatangi warganya secara langsung di tempat dia bekerja.
Selain itu diperlukan diperlukan kesadaran yang
timbul dari warganya tentang pentingnya memiliki anak sebagai generasi penerus.
Para orang tua juga tidak perlu takut akan mempunyai anak karena pemerintah
Jepang akan memberikan tunjangan anak. Jepang juga perlu lebih terbuka terhadap
migrasi karena saat ini Jepang terkenal dengan migrasi yang terutup. Karena
dengan migrasi ini dapat menambah orang yang mempunyai kewarganegaraan Jepang.
Referensi
Angka Kelahiran Rendah,
Jepang Diprediksi Punah 10 Abad Lagi (online). http://atjehpost.com /read/2012/05/12/8781/51/51/Angka-Kelahiran-Rendah-Jepang-Diprediksi-Punah-10-Abad-Lagi di akses 18 mei 2012
Banyak Anak Banyak Rejeki, Dorong Ekonomi (online). http://junanto-herdiawan.blogspot.com/ 2010/04/banyak-anak-banyak-rejeki-dorong.html di akses 18 mei 2012
Masa
Depan Lansia Jepang (online). http://parapenuliskreatif.wordpress.com/tag/jepang/ di akses 18 mei 2012
Alasan
Mengapa Krisis Jepang Memburuk (online). http://www.indonesiafinancetoday.com /read/25819/Alasan-Mengapa-Krisis-Jepang-Memburuk di akses 18 mei 2012
"人口推計月報". Biro Statistik
Jepang, Direktorat Jenderal Perencanaan Kebijakan (Standar Statistik) &
Institut Pelatihan dan Riset Statistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar